Selasa, 16 Februari 2016

Tulisan ini berawal dari sikap laku kehidupan manusia yang sering di bimbing oleh ego untuk menjalankan kehidupan. Bentuk ego itu memang tak bisa kita abaikan begitu saja dalam diri kita, dan kita tetap harus menjaga ego itu untuk tidak memunculkan sikap egoism, seperti kita memiliki keinginan dan keinginan itu tidak tercapai, atau sikap yang berbeda dengan sikap lainnya, maka yang akan muncul adalah karakter dari ego yang berbentuk kemarahan, kebencian, keserakaan.
Akhirnya kita mengerti bahwa dari ‘ego’ itu muncul rasa takut, rasa kebencian, kebohongan, penghianatan, keserakaan, kesenangan diri dan masalah lainnya yang dihadapi manusia. Misalnya dari ketakutan itu, yang bersinambungan dengan keamanan yang selama ini dimaknai sempit oleh pemerintah membuat rasa tak nyaman di segala sudut kehidupan. Pemerintah mengartikan keamanan ini sebatas paham untuk melindungi manusia dari kekerasan dan ancaman luar, padahal keamanan itu bisa kita luaskan jangkauannya dalam kehidupan manusia ini yang bersifat lahir maupun bathin, seperti takut dari kelaparan, pengangguran, bencana, miskin kebudayaan, dan lainnya. Dengan ketakutan itu manusia akhirnya akan bertindak sesuai keinginan untuk mencapai kebutuhan dirinya tanpa memandang sekitarnya, munculah korupsi yang merupakan dampak dari ketakutan itu.
Nah, kita mencoba melihat sikap kanjeng nabi Muhammad SAW yang menggambarkan dirinya sebagai nabi dan seorang pemimpin, menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat itu harus dikedepankan, dan kepentingan dirinya yang sekian kalinya dalam kehidupan. Sayangnya, masyarakat kita, terutama sebagian pemimpin kita dalam bernegara, beragama atau bersosial lebih melihat dari ranah keuntungan dan manfaat untuk dirinya, kalau kita melakukan seperti ini kira-kira apa keuntungan dan manfaat bagi saya, lho kok saya malah tekor (rugi) misalnya. Pola pikir seperti ini yang perlu kita hindari dalam mengembangkan kamaslahatan umat, kalau kita memiliki tujuan untuk membangun kemaslahatan umat, kita harus berani dan tangguh dalam menunda kesenangan yang berbentuk keuntungan dalam dirinya, utamakan kemaslahatan umat baru dirinya sendiri.
Dengan mengerti maksud dari asketis sosial itu yakni, berani menunda kesenangan sesaat untuk membangun kemaslahatan umat, melalui sikap hidup sederhana, berlaku jujur, adil kepada semuanya, berani nelongso ( Jawa). Sebab dalam kamus besar bahasa Indonesia, asketisme bermakna paham yang mempraktekkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan. Itulah tingkah laku hidup kanjeng nabi dalam mendidik umatnya, artinya kita tidak akan bahagia kalau masyarakat sekitar masih merasa kelaparan, pendidikan minim, kekerasan, ancaman, apalagi kebudayaan dimiskinkan.
Tidak ada aku tanpa kamu
Tidak ada kamu tanpa aku
Dalam diriku ada kamu
Dan itu tidak berlaku di Eropa, di Eropa yang berlaku adalah dalam diri AKU tidak ada kamu, sebab kamu adalah neraka bagiku maka AKU harus membunuh kamu. Inilah yang mencetuskan filsafat eksistensialime.
Dan bangsa kita menolak paham itu, agama kita menolak pemikiran seperti itu, sebab paham eksistensialism menganggap orang lain/ the other sebagai negasi yang harus di musnakan agar Aku bisa eksis. Agama akan tegak setelah menghancurkan berhala-berhala, teori akan berlaku kalau meruntuhkan teori lain, kapitalis akan kuat kalau menindak rakyat, dan itulah paham eksistensialism yang mewujud dalam diri individualism. Yang dia pikirkan adalah AKU, aku adalah nomor satu, aku adalah pemenang, aku adalah orang kaya dan aku memiliki semuanya. Kamu miskin, kamu bodoh, kamu pengangguran tidak peduli yang penting Aku eksis. Paham seperti ini yang dilakukan oleh kaum  kapitalisme dan UU telah di sahkan oleh MPR. Mereka tidak peduli melakukan korupsi, menginjak keringat para rakyat, yang mereka pikirkan adalah yang penting AKU kaya.

Maka, disini perlu di tegaskan bahwa sikap zuhud sosial sangat di perlukan dalam kehidupan kita. Paham zuhud sosial/ asketis sosial tidak berarti kita tidak ada upaya untuk mencari kebutuhan untuk hidup. Orang sering melihat kalau zuhud atau asketis itu tidak senang duniawi terus pasrah penuh kepada Allah tanpa ada usaha, tidak mencari rizki, pakaian kusut, pola hidup seperti orang miskin. Hal ini saya pikir kurang tepat dalam memahami zuhud atau asketis. Sebab yang dinamakan “Duniawi” itu sisa dari kebutuhan kita, misalnya kita hidup sehari hanya membutuhkan uang Rp 50.000,00 dan kita memiliki rizki Rp. 75.000,00. Maka rizki 25.000 itu adalah duniawi yang berhak diberikan kepada orang yang membutuhkan dan 50.000 bukan duniawi, dan kita tetap diharuskan untuk mencari kebutuhan hidup untuk bisa beribadah, beramal shaleh, dan membantu yang lain. Kalau sebagian para pemimpin atau masyarakat di negeri kita mengerti dan bisa bersikap seperti ini, kemungkinan besar korupsi bisa teratasi dan kemakmuran umat bisa  kita bangun, dan indonesia akan menjadi bangsa yang besar. Sebab pada saat ini, sikap seperti itu sangat di perlukan bagi para pemimpin untuk menjadi bangsa yang berkembang dengan moralitas atau etika sosial yang kuat, dan kita tidak lagi terus menerus saling menyalahkan. Sulitkah .... ?    

di tulis oleh : Su Wung

0 komentar:

Posting Komentar